Sunday 5 May 2013

Mau aman? Pilih Hitam.

Mau aman? Pilih hitam.
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keempat.
Kali ini tema-nya tentang warna ya? Sebenarnya kalau warna yang paling aku suka itu warna merah jambu. Warna cewek banget ya? Selain bisa membuat suasana hati lebih ceria warna pink juga membuat kita berasa lebih muda, fresh, hangat dan cantik.
Tapi, bila bicara warna yang paling berkesan dan membuat saya lebih merasa aman, tentu saja jawabannya hitam.
“Hitam aman? Kata siapa? Analisa dodol dan sama sekali tidak mendasar.Aman dong, bukan aman saja. Itu kata-ku, menurut hasil analisa-ku dan pengalaman-ku 
Benci hitam dan tak ingin hitam.
Menjadi hitam siapa sih yang mau? Sebagai seorang wanita pasti akan sangat membenci warna hitam apalagi memiliki kulit yang hitam, meski sering ada embel-embel kalimat manis dibelakangnya. Tapi tetep saja nggak ngaruh. Banyak orang yang rela mengorbankan kantongnya kempes bahkan kesehatannya hanya karena ingin mendapatkan kulit yang putih. Mulai dari lotion, sabun, cream, suntik bahkan obat-obatan yang sangat marak hanya untuk membuang warna hitam dari kulit.
Tapi kalau benci warna hitam, awalnya saya memang iya. Baju, kaos, tas, sepatu apapun itu saya menghindari warna hitam. Warna hitam akan membuat kulit saya yang kusam terlihat lebih kusam. Rasanya saya sangat tidak pantas bila memakai warna gelap dan jadi sangat tidak pede.
Adakah yang setuju dengan saya?
Itu sih dulu. Saat saya masih abege, yang masih ingin mencuri-curi perhatian dari semua orang. Yang selalu ingin menjadi pusat  perhatian dimanapun berada. Jadi bagaimana bisa menjadi pusat perhatian bila penampilan justru kusam.
Seiring waktu, dimana yang mengharuskan saya bepergian kemana-mana sendirian saya malah menyukai semua yang serba hitam. Head to toe. Mulai dari jilbab hitam, gamis hitam, tas serta sepatu yang hitam. Tapi tentu saja nggak memakai make-up warna hitam. Untuk make up saya lebih  memilih polos, cukup memakai pelembab serta lipgloss tanpa warna.
Memakai semua yang serba hitam memang menyenangkan. Selain berasa aman karena tak ada satu orangpun yang memperhatikan. Saya juga merasa bebas dari laki-laki yang biasa iseng meskipun hanya dengan mengucapkan salam “Assalamualaykum” yang sebenarnya mungkin hanya basa-basi saja.
Tapi ada satu kejadian yang membuat saya agak merasa il-fell waktu saya baru saja pindah ke Grogot. Satu kota kecil di salah satu kabupaten Paser-kalimantan timur. Karena kebiasaan saya pulang pergi ke Grogot-Balikpapan sendirian jadilah saya terbiasa memakai baju hitam-hitam gitu. Tanpa sadar beberapa tetangga yang melihat jadi merasa “aneh”.
Sampai satu waktu pada saat saya belanja di tukang sayur keliling ada ibu-ibu yang menanyai saya.
“Mbak ini agamanya islam apa sih?” tanyanya sembari beberapa ibu-ibu yang lain ikut mendengarkan. Beneran deh saat itu suasananya menjadi sangat tidak enak.
Nah lho harus menjawab apa? Padahal pada saat belanja itu saya memakai gamis warna pink serta jilbab warna merah marun. Perpaduan yang cantik tapi kenapa ya masih dipandang sebelah mata? memang sih zaman dulu belum banyak jilbaber seperti sekarang. Tapi nggak segitunya juga kali, memangnya ada berapa sih agama islam?
Tapi syukurlah seiring waktu yang berlalu semua berjalan baik-baik saja. Pakaian serba hitam yang sesekali aku pakai itu tidak menjadi penghalang malah merasa aman.


Monday 29 April 2013

Melepaskanmu, cerita cinta yang lain




Judul buku : Melepaskanmu, cerita cinta yang lain.
Penulis : Helga Rif
Penerbit : Rak buku
Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman : 313 halaman
Harga : Rp 59.500

“ Mungkin pada akhirnya, kau harus merelakanku seperti aku belajar merelakanmu. Bukankah cinta memang seharusnya seperti itu?”
Entahlah, dua baris kalimat terakhir di sampul buku itu rasa-rasanya seperti magnet yang membuatku tertarik untuk membawa novel ini ke kasir dan membayarnya tanpa perlu membuka isinya. Dari pertama kali melihat sampulnya, saya sudah tertarik. Simple, terkesan tidak mencolok tetapi menggoda.
Rupa-rupanya kekalutan hati mungkin yang membawaku ingin segera melahap isi novel ini. tapi ternyata pilihanku tepat. Aku sama sekali tidak menyesal membaca novel ini. sumpah jadi ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, Helga Rif.
Menceritakan kisah percintaan metropolis, yang terkesan agak free. Tapi disini terpapar “real, bukan picisan.” Yups begitulah kisah anak muda zaman sekarang bukan. Tapi bukan itu yang mau aku bahas. Novel ini begitu menginspirasiku. Adakalanya kita memang harus merasakan sakit yang teramat sangat, hancur,lebur saat orang yang sangat kita sayangi tiba-tiba terlibat affair dengan orang lain begitu saja.
Apa salah kita? apa kekurangan kita? tentu saja kita boleh tidak terima bahkan sangat ingin memutuskan hubungan dengan penghianat itu. Tapi disatu sisi, kita juga harus jujur kalau kita masih begitu sayang. Bahkan dengan mudahnya kita memberi kesempatan kedua meskipun hati kita berdarah-darah. Bahkan orang-orang disekeliling kita yang sayang dengan kita benar-benar nggak habis pikir mengapa kita dengan mudahnya takluk dengan “cinta palsu itu”
Tapi tentu saja, meskipun kita menutup kedua mata dan telinga  kita. yang perlu kita sadari adalah kita berhak bahagia. Diluar sana, masih banyak hati yang siap membalut luka kita. setidaknya kalau kita masih belum yakin dengan perasaan kita mampu move on ke lain hati. Kita mampu berbahagia dengan cara kita sendiri.
Bravo, Helga Rif mampu menyelesaikan novel ini dengan ending yang apik. Benar-benar menginspirasi para perempuan yang susah move on dan selalu terbelenggu dengan cinta dan air mata. Hello, diluar sana ada bahagia yang menanti lho, kalau mau sedikit saja membuka hati.


Sunday 28 April 2013

Kesetiaan, harga mati dari ketulusan.



Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga. Yang mengangkat tema sosok perempuan yang sangat inspiratif.
Dari Princess menjadi Tarzan.
Bulik War, saya memanggilnya. Perempuan paruh baya yang saya kenal 20 tahun yang lalu saat beliau menikah dengan adik bapak saya. Awalnya saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa pada beliau. Terlebih diusia saya yang masih bisa dibilang kanak-kanak serta terbentang jauh tempat tinggal. Kami tinggal di jawa tengah sementara Bulik War tinggal di Samarinda – Kalimantan timur.
Sebagai seorang putri jawa yang dididik dengan kehalusan budaya jawa, bisa dibilang Bulik mengalami Shock culture pada waktu diboyong Paklik ke Samarinda. Seharusnya memang tak masalah dengan kota Samarinda, masalah utamanya tempat tinggal paklik bukanlah di kota Samarindanya, melainkan di Batu Ampar.
Dulu, transportasinya belum ada speed boat. Hanya ada perahu klotok yaitu perahu nelayan yang jalannya sangat lamban. Dari Samarinda kita masih harus menempuh perjalanan selama satu hari satu malam perjalanan menuju Batu Ampar.
Inilah perjuangan hidup. Inilah saatnya kesetiaan sebagai seorang istri diuji. Karena tak hanya tinggal di lingkungan terpencil, tengah hutan serta jauh dari kehidupan layak. Pada malam haripun Bulik harus mengikhlaskan paklik untuk pergi bahkan berhari-hari tak pulang demi syiar agama Islam. Selain bekerja di pabrik kertas, paklik juga mendaatkan amanah untuk menjadi da’i di lingkungan yang lebih pedalaman. Membayangkan tengah malam saya berada di tengah hutan, sendirian dengan keadaan rumah yang masih berdindingkan kayu dan atap rumbia benar-benar tak dapat dibayangkan.
Tapi disinilah ketulusan diuji. Bila hanya menurutkan kebahagiaan sendiri. Bulik War bisa saja memilih jalan hidup Long distance relationship (LDR). Seperti banyak pasangan layaknya yang suaminya bekerja di lokasi. Cukup duduk manis di rumah serta menunggu suami libur selama 2 minggu disetiap 3 bulan. Tak perlu merasakan susahnya tinggal di tengah-tengah hutan Borneo.
Tak ada kebahagiaan yang sempurna              
Dalam kehidupan, mana mungkin ada kebahagiaan yang sempurna. Kita tidak akan mungkin bisa menggenggam matahari dan bulan dalam waktu yang bersamaan. Begitu juga dengan kehidupan Bulik. Setelah tiga tahun hidup di tengah keterbatasan namun berlimpah bahagia.  karena memiliki suami yang luar biasa baik serta diberi dua jagoan yang menjadi pelita bagi keluarga.
Di pagi yang mendung, paklik dipanggil oleh Allah Swt. Sakit malaria yang dideritanya kurang cepat mendapatkan penanganan medis. Kondisi alam, cuaca yang buruk , kurangnya tenaga  medis serta obat-obatan menjadi pemicunya. Tapi mungkin ini hanyalah cara Allah menyayangi paklik. Orang baik biasanya dipanggil cepat, meskipun cita-citanya belum sampai terpenuhi, yaitu membawa Bulik serta dua jagoannya pindah ke tempat lahirannya di Magetan-jawa timur.
Saat kesetiaan adalah harga mati dari sebuah ketulusan.
Lima belas tahun berlalu sejak peristiwa meninggalnya paklik. Kedua jagoan Bulik War pun kini berubah menjadi sosok yang benar-benar bisa dibanggakan baik dari pendidikan di sekolah serta agamanya. Tapi Bulik War tetap memilih menjadi seorang single parent.
Bukan tak ada orang yang berusaha mendekati untuk melamarnya. Dari pihak kamipun tak jarang membicarakan hal ini. demi kebahagiaan dan kelangsungan hidup Bulik ke depan tentu saja. Selama ini Bulik sudah begitu tangguh membesarkan kedua putranya sendirian, memberikan pendidikan yang layak. Hidup menanggung susah seorang diri.
Tapi Bulik War benar-benar sosok yang menginspirasi bagi saya. Bagaimanapun susahnya hidup pasti ada akhirnya. Ikhlas sajalah, memberi yang terbaik. Serta tentang kesetiaan tadi, Bulik bilang hanya ingin menjadi penggantin di Surga bersama Paklik. Bagaimana bisa menjadi bidadari pilihan di surga, bila di dunia saja sudah tidak setia?



Friday 19 April 2013

Soto banjar dari sensasi sampai jatuh hati.


Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kedua.

Tinggal di bumi borneo, tepatnya di Kalimantan timur sejenak membuat saya bertanya-tanya. Apa sih sebenarnya makanan khas dari kalimantan timur? Jawabannya Tidak ada.
Hah kog tidak ada? Duh jangan kaget gitu dong, saya sendiri  juga heran kog. Hampir lima tahun berada disini jujur saya tidak menemukan sesuatu yang khas Kaltim banget. Mungkin karena disini banyak warga pendatang, jadi selera kulinernya juga beraneka rasa.
Mulai dari kuliner jawa yang menjadi primadona, disusul dengan padang, masakan Banjar (kalimantan selatan) sampai  sulawesi dengan menu andalan Coto makasar, sop konro dan es palu butung.
Oh ya meskipun menu masakan Banjar bukanlah makanan khas kalimantan timur, tetapi menu masakan banjar benar-benar menjadi favorite bagi saya. Terlebih kalau sudah bicara soto banjar atau soto kuin. Air liur saya rasanya tak berhenti menetes  dan sensasinya itu benar-benar menggoda.
Dari soto sampai sensasi? Bagaimana bisa?
Tentu saja bisa. Sekedar info, untuk prosesi jatuh cintanya saya pada soto banjar aka soto kuin tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Soto mah dimana-mana sama saja. Pun yang membedakan pasti hanya menggunakan ayam kampung ataupun ayam negeri. Atau makannya memakai nasi, lontong atau ketupat. Dan dari hasil indra perasa saya, saya merasakan soto banjar itu biasa saja. Memang sih lebih segar karena menggunakan air kaldu ayam kampung. 
Jadi ceritanya saya diajak berlibur ke Banjarmasin. Kebetulan ibu mertua saya adalah orang Banjar asli. Dan menurut kepercayaan ibu mertua saya, belum afdol rasanya ke Banjar kog belum pergi ke pasar Terapungnya  di daerah Kuin.  Jadilah saya bersama rombongan keluarga besar subuh-subuh sudah sibuk siap-siap. Soalnya, selepas subuh pasar kuin akan bubar, jadi bohong aja kalau iklan di tivi yang rame pada siang hari begitu.
Setelah sampai di pelabuhan jujur saya bingung. Lho mana pasarnya? Kog sepi sekali. Jangan-jangan salah jadwal ya? Terlalu pagi atau malah sudah bubar?  Seribu satu pertanyaan berkecamuk dalam hati saya. Untunglah tak berapa lama kami berada disitu datang bapak-bapak yang menyewakan perahu kecil nya. Tapi whoa mahal banget, bapak itu menyewakan kapalnya tiga ratus ribu rupiah, diluar perkiraan saya. Saya kira dihitung per-orang seperti kalau kita naik speed boat atau kapal klotok.
Tapi mau mundur tanggung, sudah sampai sini mending maju ajalah. Sekali-kali juga, bujuk hati kecil saya. Hems, ternyata dari arah pelabuhan ke pasar terapungnya itu lumayan jauh. Pantas juga dibandrol harga segitu. Nggak rugi deh, banyak hikmah perjalanan pagi itu.
Hikmahnya saya benar-benar bersyukur diberi kehidupan yang lebih layak oleh Allah. Entahlah, apakah saya bisa sekuat mereka andai saya harus bekerja sekeras mereka. Saya memiliki kedua orang tua yang tak perlu merasakan susah payahnya berdagang di tengah dinginnya udara pagi serta harus mendayung kapal melawan derasnya arus sungai.
Sungguh miris rasanya melihat para pedagang yang sudah renta itu dengan gesitnya mengayuh sampan mereka. Berjualan hasil kebun dll. Tetapi kalau bicara harga, harganya tidaklah selisih banyak dengan yang di darat.  Oh ya disini masih berlaku sistem barter lho. Saya melihat ada nenek yang membarter hasil kebun mereka, pisang, rambutan, juga sayur-sayuran dengan kebutuhan dapur seperti minyak makan, garam, dll. Yang menjual kebutuhan dapur atau toko kelontongan ini menggunakan kapal besar lho, mungkin mini marketnya pasar terapung ya?
 

 
Puas melihat-lihat aktivitas serta membeli beberapa tumpuk buah kami lalu diajak oleh supir kapalnya menuju ke hilir. Tentu saja tujuannya ke kapal yang menjual soto banjar asli kuin.
Dan kali ini saya benar-benar dibuat jatuh cinta oleh rasanya yang menurut lidah saya luar biasa nikmatnya. Maknyus banget, kalau disuruh memberi nilai saya pasti memberi angka 9 dari level 10. Oh ya, yang membuat saya jatuh cinta tentu saja rasa kuah nya yang nikmat banget berpadu dengan perut saya yang tiba-tiba keroncongan.


Sekedar info yang membedakan soto banjar asli atau bukan.
-          Rasa, bisa dong membedakan kuah ayam kampung dengan kuah ayam negeri?
-          Menggunakan irisan tipis telur bebek.
-          Menggunakan suwiran ayam kampung.
-          Ketupatnya di iris tipis, sementara soto lain pasti lontongnya diiris besar-besar.
-          Menggunakan media piring, bukan mangkok.