Tulisan ini diikutkan pada 8
Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga. Yang mengangkat
tema sosok perempuan yang sangat inspiratif.
Dari Princess
menjadi Tarzan.
Bulik War, saya memanggilnya. Perempuan
paruh baya yang saya kenal 20 tahun yang lalu saat beliau menikah dengan adik
bapak saya. Awalnya saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa pada beliau. Terlebih
diusia saya yang masih bisa dibilang kanak-kanak serta terbentang jauh tempat
tinggal. Kami tinggal di jawa tengah sementara Bulik War tinggal di Samarinda –
Kalimantan timur.
Sebagai seorang putri jawa yang
dididik dengan kehalusan budaya jawa, bisa dibilang Bulik mengalami Shock
culture pada waktu diboyong Paklik ke Samarinda. Seharusnya memang tak masalah
dengan kota Samarinda, masalah utamanya tempat tinggal paklik bukanlah di kota
Samarindanya, melainkan di Batu Ampar.
Dulu, transportasinya belum ada
speed boat. Hanya ada perahu klotok yaitu perahu nelayan yang jalannya sangat
lamban. Dari Samarinda kita masih harus menempuh perjalanan selama satu hari
satu malam perjalanan menuju Batu Ampar.
Inilah perjuangan hidup. Inilah saatnya
kesetiaan sebagai seorang istri diuji. Karena tak hanya tinggal di lingkungan
terpencil, tengah hutan serta jauh dari kehidupan layak. Pada malam haripun
Bulik harus mengikhlaskan paklik untuk pergi bahkan berhari-hari tak pulang
demi syiar agama Islam. Selain bekerja di pabrik kertas, paklik juga mendaatkan
amanah untuk menjadi da’i di lingkungan yang lebih pedalaman. Membayangkan tengah
malam saya berada di tengah hutan, sendirian dengan keadaan rumah yang masih
berdindingkan kayu dan atap rumbia benar-benar tak dapat dibayangkan.
Tapi disinilah ketulusan diuji. Bila
hanya menurutkan kebahagiaan sendiri. Bulik War bisa saja memilih jalan hidup Long distance relationship (LDR). Seperti
banyak pasangan layaknya yang suaminya bekerja di lokasi. Cukup duduk manis di
rumah serta menunggu suami libur selama 2 minggu disetiap 3 bulan. Tak perlu
merasakan susahnya tinggal di tengah-tengah hutan Borneo.
Tak ada kebahagiaan yang sempurna
Dalam kehidupan, mana mungkin ada
kebahagiaan yang sempurna. Kita tidak akan mungkin bisa menggenggam matahari
dan bulan dalam waktu yang bersamaan. Begitu juga dengan kehidupan Bulik. Setelah
tiga tahun hidup di tengah keterbatasan namun berlimpah bahagia. karena memiliki suami yang luar biasa baik
serta diberi dua jagoan yang menjadi pelita bagi keluarga.
Di pagi yang mendung, paklik
dipanggil oleh Allah Swt. Sakit malaria yang dideritanya kurang cepat
mendapatkan penanganan medis. Kondisi alam, cuaca yang buruk , kurangnya tenaga
medis serta obat-obatan menjadi
pemicunya. Tapi mungkin ini hanyalah cara Allah menyayangi paklik. Orang baik
biasanya dipanggil cepat, meskipun cita-citanya belum sampai terpenuhi, yaitu
membawa Bulik serta dua jagoannya pindah ke tempat lahirannya di Magetan-jawa
timur.
Saat kesetiaan adalah harga mati dari sebuah ketulusan.
Lima belas tahun berlalu sejak
peristiwa meninggalnya paklik. Kedua jagoan Bulik War pun kini berubah menjadi
sosok yang benar-benar bisa dibanggakan baik dari pendidikan di sekolah serta
agamanya. Tapi Bulik War tetap memilih menjadi seorang single parent.
Bukan tak ada orang yang berusaha
mendekati untuk melamarnya. Dari pihak kamipun tak jarang membicarakan hal ini.
demi kebahagiaan dan kelangsungan hidup Bulik ke depan tentu saja. Selama ini
Bulik sudah begitu tangguh membesarkan kedua putranya sendirian, memberikan
pendidikan yang layak. Hidup menanggung susah seorang diri.
Tapi Bulik War benar-benar sosok
yang menginspirasi bagi saya. Bagaimanapun susahnya hidup pasti ada akhirnya. Ikhlas
sajalah, memberi yang terbaik. Serta tentang kesetiaan tadi, Bulik bilang hanya
ingin menjadi penggantin di Surga bersama Paklik. Bagaimana bisa menjadi
bidadari pilihan di surga, bila di dunia saja sudah tidak setia?
No comments:
Post a Comment