Sunday 28 April 2013

Kesetiaan, harga mati dari ketulusan.



Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga. Yang mengangkat tema sosok perempuan yang sangat inspiratif.
Dari Princess menjadi Tarzan.
Bulik War, saya memanggilnya. Perempuan paruh baya yang saya kenal 20 tahun yang lalu saat beliau menikah dengan adik bapak saya. Awalnya saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa pada beliau. Terlebih diusia saya yang masih bisa dibilang kanak-kanak serta terbentang jauh tempat tinggal. Kami tinggal di jawa tengah sementara Bulik War tinggal di Samarinda – Kalimantan timur.
Sebagai seorang putri jawa yang dididik dengan kehalusan budaya jawa, bisa dibilang Bulik mengalami Shock culture pada waktu diboyong Paklik ke Samarinda. Seharusnya memang tak masalah dengan kota Samarinda, masalah utamanya tempat tinggal paklik bukanlah di kota Samarindanya, melainkan di Batu Ampar.
Dulu, transportasinya belum ada speed boat. Hanya ada perahu klotok yaitu perahu nelayan yang jalannya sangat lamban. Dari Samarinda kita masih harus menempuh perjalanan selama satu hari satu malam perjalanan menuju Batu Ampar.
Inilah perjuangan hidup. Inilah saatnya kesetiaan sebagai seorang istri diuji. Karena tak hanya tinggal di lingkungan terpencil, tengah hutan serta jauh dari kehidupan layak. Pada malam haripun Bulik harus mengikhlaskan paklik untuk pergi bahkan berhari-hari tak pulang demi syiar agama Islam. Selain bekerja di pabrik kertas, paklik juga mendaatkan amanah untuk menjadi da’i di lingkungan yang lebih pedalaman. Membayangkan tengah malam saya berada di tengah hutan, sendirian dengan keadaan rumah yang masih berdindingkan kayu dan atap rumbia benar-benar tak dapat dibayangkan.
Tapi disinilah ketulusan diuji. Bila hanya menurutkan kebahagiaan sendiri. Bulik War bisa saja memilih jalan hidup Long distance relationship (LDR). Seperti banyak pasangan layaknya yang suaminya bekerja di lokasi. Cukup duduk manis di rumah serta menunggu suami libur selama 2 minggu disetiap 3 bulan. Tak perlu merasakan susahnya tinggal di tengah-tengah hutan Borneo.
Tak ada kebahagiaan yang sempurna              
Dalam kehidupan, mana mungkin ada kebahagiaan yang sempurna. Kita tidak akan mungkin bisa menggenggam matahari dan bulan dalam waktu yang bersamaan. Begitu juga dengan kehidupan Bulik. Setelah tiga tahun hidup di tengah keterbatasan namun berlimpah bahagia.  karena memiliki suami yang luar biasa baik serta diberi dua jagoan yang menjadi pelita bagi keluarga.
Di pagi yang mendung, paklik dipanggil oleh Allah Swt. Sakit malaria yang dideritanya kurang cepat mendapatkan penanganan medis. Kondisi alam, cuaca yang buruk , kurangnya tenaga  medis serta obat-obatan menjadi pemicunya. Tapi mungkin ini hanyalah cara Allah menyayangi paklik. Orang baik biasanya dipanggil cepat, meskipun cita-citanya belum sampai terpenuhi, yaitu membawa Bulik serta dua jagoannya pindah ke tempat lahirannya di Magetan-jawa timur.
Saat kesetiaan adalah harga mati dari sebuah ketulusan.
Lima belas tahun berlalu sejak peristiwa meninggalnya paklik. Kedua jagoan Bulik War pun kini berubah menjadi sosok yang benar-benar bisa dibanggakan baik dari pendidikan di sekolah serta agamanya. Tapi Bulik War tetap memilih menjadi seorang single parent.
Bukan tak ada orang yang berusaha mendekati untuk melamarnya. Dari pihak kamipun tak jarang membicarakan hal ini. demi kebahagiaan dan kelangsungan hidup Bulik ke depan tentu saja. Selama ini Bulik sudah begitu tangguh membesarkan kedua putranya sendirian, memberikan pendidikan yang layak. Hidup menanggung susah seorang diri.
Tapi Bulik War benar-benar sosok yang menginspirasi bagi saya. Bagaimanapun susahnya hidup pasti ada akhirnya. Ikhlas sajalah, memberi yang terbaik. Serta tentang kesetiaan tadi, Bulik bilang hanya ingin menjadi penggantin di Surga bersama Paklik. Bagaimana bisa menjadi bidadari pilihan di surga, bila di dunia saja sudah tidak setia?



No comments:

Post a Comment